Beauty and the Best Movie Review


6a1a0fe4f54e261aa0e14d374a00371c

Biar dramatis, biasanya pemakaian kata ‘dan’ pada judul mengisyarakatkan sesuatu yang berlawanan, buat nemplokin dua mutu yang kontras. Kayak air dan api, hitam dan putih, Tom dan Jerry. Oh ya, satu lagi; Beauty and the Beast. Dilihat demikian maka judul film yang diadaptasi dari novel karangan Luna Torashyngu cukup menantang. Apakah film ini menyugestikan bahwa beauty dan best selalu bertolak belakang? Apakah memang cantik bukan sebuah trait yang baik, let alone nomor-satu-di-atas-segalanya?Ultimately, apakah seseorang enggak bisa cantik sekaligus menjadi yang terbaik?
Pertama memang harapan dan asumsi ku adalah paling enggak film ini bisa jadi semacam Mean Girls (2004) versi Indonesia, kayak dari sudut pandang Regina George, maybe. Tapi selama aku menatap adegan demi adegan film ini, aku tahu perkiraanku salah. Beauty and the Best adalah cerita yang lumayan punya pesona sendiri.
FILM INI CANTIK. Yang bilang enggak, pasti bohong. Pemainnya, pemandangannya, visualnya bener-bener eye-pleasing. Meski overhead shot kota-kota yang dilambat-lambatin yang senantiasa muncul antar-adegan itu rada annoying. Tapi bener deh, film ini kalo diibaratin cewek, aku pasti naksir. Untuk menambah kekecean tersebut, drama anak sekolahan ini juga makek musik-musik yang asik didenger, suaranya merdu punya. Aku kurang suka dengerin musik, tapi aku selalu suka film yang berhasil mengintegralkan penampilan musikal ke dalam cerita. Dan film Beauty and the Best adalah salah satu dari film tersebut.
So what’s this movie all about?
Tentang Ira dan Kelly. Dua bintang sekolah. Yang satu juara model, yang satu juara kelas. Mereka taruhan kalo Ira tidak akan bisa sepinter Kelly. Ke-enggakklop-an mereka digambarkan dengan segera begitu cerita dimulai. Film ini did an effective job at telling both of their side visually. Kita bisa langsung tahu personality, siapa Ira dan Kelly dari cara mereka bangun pagi, kondisi kamar, dan saat mereka berangkat ke sekolah.
Sebagai seorang model yang wajahnya sering nongol di majalah, Ira (Andania Surithrowback ke jaman dirinya menangin Gadis Sampul 2010 dengan nomerpeserta yang juga 9 hihi) sudah biasa dipuja. Penggemarnya banyak. Orangtuanya selalu mendukung. She has this clique that would do her biddingAssemble temen-temen segeng mereka mirroring karakter geng dalam film Ada Apa Dengan Cinta? (2002) dan ini bikin aku marked out begitu sadar. Karena sejak hari pertama kenal, aku selalu bilang kalo Suri miriiiip banget sama Dian Sastro. Ira anaknya persistent, persuasif, dan agak manipulatif. Di sinilah Suri menonjol, ia mampu memainkan karakter yang berusaha mematahkan anggapan orang-orang dengan buktiin diri bisa jadi pinter tersebut dengan natural. Dan ada adegan nangis juga (baca: lagi) yang udah jadi semacam trademark and also special move buat Suri, karena she’s really excel at these kindof scene.
 foreshadowing buat Unyu op the Year akhir tahun ini??
foreshadowing buat Unyu op the Year akhir tahun ini??
Namun, karakter Kelly terasa lebih menarik bagiku. Kelly bukanlah evil genius. Dia bahkan enggak sepinter itu mengingat dia selalu nomor dua, nilainya enggak pernah di atas nilai Aldo, sepupunya. Makanya Kelly meledak begitu liat nilai Ira mengalahkan nilainya. Ada kedalaman yang lebih yang ditawarkan oleh tokoh Kelly (I like Chelsea Shania’s delivery on “it’s always been that way, right!?”) Enggak terasa jahat amat, kita tahu cewek berkacamata ini sebenarnya cuma insecure. Dia mendapat tekanan dari ibunya yang selalu ngebandingin dia dengan si sepupu. Kita lihat Kelly punya hobi lain di luar kegandungrannya ngerjain soal kimia dan adu nilai dengan orang, yaitu bermain gitar yang dilakukannya diam-diam tanpa sepengetahuan sang Ibu.
Sifat Ira dan Kelly yang berbeda ini pada akhirnya diset dengan manis jadi konflik yang mendasari keseluruhan film. Kalo Batman dan Superman ada Lex Luthor, maka di film ini kita mendapati Aldo berada di tengah-tengah ‘medan pertempuran’. Anak pinter banget, pendiem, a social outcast, dia gak punya hape tapi punya sesuatu yang ia tak mau orang lain lihat. Pendekatan Maxime Bouttier dalam memainkan tokohnya membuatku teringat sama Norman Bates yang dimainkan oleh Freddie Highmore di serial Bates Motel. Vibe mereka kerasa mirip, rada nyeremin haha. Tapi ada alasannya film ini enggak pake ‘versus’ kayak di film Batman-Superman. Karena denyut jantung film ini adalah pada pembuktian diri. Perseteruan Ira dan Kelly enggak dibahas secara over, kita justru melihat sisi personal mereka masing-masing. Mereka sesungguhnya pribadi yang mirip. Sama-sama keras hati, sama-sama kompetitif, cuma ya saling gasadar aja. Dan ke sanalah arah cerita film ini.
Bandung dalam dunia film Beauty and the Best berisi oleh tokoh-tokoh yang mudah untuk direlasikan kepada diri yang nonton. Mereka TERASA RELEVAN DENGAN KONDISI PERGAULAN ANAK SEKOLAH JAMAN SEKARANG. Sentuhan bagus saat film ini mengaplikasikan mata pelajaran jadi sesuatu yang dilakukan oleh tokoh-tokohnya. Stakeyang dipertaruhkan pun tak jauh dari masalah anak muda.
Bahkan buatku yang udah lama ninggalin bangku sekolah, film ini juga bisa ‘klik’. Ada satu adegan yang I feel highly related to, in a funny way; saat Ira disuruh pindah duduk ke depan waktu ulangan Kimia. Aku pernah ngalamin persis kayak gini. Di sekolah aku suka duduk di barisan belakang. Ini jadi pertanyaan guru-guru karena ngeliat dari potonganku, mereka nganggep aku ini anak baik-baik yang pintar. Sampai suatu ulangan Kimia aku dipindah ke depan karena ibu guru menyangka ada teman yang ingin menyontekku. Sejak saat itu, setiap ulangan beliau memindahkan ku ke depan dan berakhir dengan aku dipanggil ke kantor karena nilai kimia ku semester itu jeblok parah! Little did they know, biasanya kalo di belakang aku suka liat contekan yang kuumpetin di balik kertas buram. Dan kayak Ira, aku jadi gabisa nyontek karena dipindah duduk ke depan idung guru hahaha
Guru Ira mirip Sadness di Inside Out, and it is so sad denger dia berusaha pake logat batak.
Guru Ira mirip Sadness di Inside Out, and it is so sad denger dia berusaha pake logat batak.

Beauty and the Best surprised me on different level. Meski banyak juga adegan yang bikin aku “yea, of course they’d do that”. Paling bikin aku kaget adalah film ini mencoba memasukkan rasa The Breakfast Club (1985) ke dalam salah satu sekuen resolusinya. Cukup berhasil sih mengangkat kepentingan dan nilai dramatis film ini. Aku enggak akan bilang adegan yang mana, karena adegan ikonik kayak gini harus kita tonton sendiri tanpa tahu banyak, supaya bener-bener bisa ngerasain feel nya. Aku selalu bilang remaja perlu nonton The Breakfast Club, dan sekarang aku enggak perlu terlalu ngotot lagi karena Beauty and the Best cukup bisa mewakili film tersebut.
Pada akhirnya nilai sekolah ataupun status kepopuleran, semuanya itu sama aja. Dua hal tersebut tidak berarti apa-apa. Yang lebih penting adalah pilihan kita. Itulah yang menunjukkan siapa diri kita yang sebenarnya.
Akan tetapi, memang terasa sekali subplot cinta-cintaan anak remaja membuat film ini tidak bisa menjadi lebih emosional lagi. It can not pass that mediocre wall. Kalo dibandingkan dengan film legendaris karya John Hughes itu, masih jauh. BEAUTY AND THE BEST, AT ITS BEST, TERASA KAYAK AADC? DENGAN SEDIKIT RIASAN MEAN GIRLS, YANG DIAJARIN OLEH THE BREAKFAST CLUB. Tutur film ini tidak terasa tegas. Tidak terlalu terang apakah teman-teman mereka yang lain sadar akan ‘topeng’ sendiri atau apakah mereka hanya meng-glorified ‘topeng’ tersebut. “Burem!” kalo kata Ira.
Menyedihkan melihat film Indonesia selalu terbentur di kedalaman emosi yang sama karena terlalu mengandalkan masalah romansa, ataupun orang yang sakit. Inilah kenapa aku lebih peduli sama tokoh Kelly. Bahasan konfliknya lebih grounded, lebih manusiawi. Emosional toh bisa juga digali dari sisi yang lain, dan film ini banyak untapped potentialsdari segi karakterisasinya sendiri.
Timeline cerita kadang hard to determine, kayak seujug-ujug prom tanpa event itu pernah disebut sebelumnya. It’s also really disappointing saat film ini enggak nemuin cara yang lebih rajin untuk Aldo mengetahui semua. Numpahin air gak sengaja, atau kesandung dan majalah keinjek, adalah cara-cara paling gampang yang bisa dipakai sebuah film untuk memajukan narasi. Enggak kreatif. Cara yang demikian tidak akan pernah membuat film terlihat bagus. Malah it gives impression jangan-jangan judulnya juga sekedar plesetan aja.

Sangat mudah untuk jadi likeable, terutama bagi sasaran audiensnya. Juga sangat dekat. The heart of this movie is in the right place. Punya pesan yang bagus, sayang storytellingnya tidak semenantang judul filmnya. Bahkan film ini meminjam cukup banyak dari yang lain. Quote Ramona dari serial AHS: Hotel (2015) yang kupakai jadi pembuka reviewcocok sekali untuk dikatakan kepada film ini, jika ia adalah seorang cewek. Demi dirinya adalah seorang film yang cantik. Dan jelas, enggak bego-bego amat. The Palace of Wisdom gives 6.5 gold stars out of 10 for BEAUTY AND THE BEST

Komentar